Jakarta – Perkenalkan prosedur baru dalam proses pemanfaatan ruang dan perizinan berusaha, yakni Online Single Submission (OSS) berbasis risiko.
Seperti dilansir dari atrbpn.go.id, Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Online Single Submission-Risk Based Approach (OSS-RBA), disebutkan bahwa penerapan OSS-RBA bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses perizinan, serta melaksanakan pemantauan secara transparan, terstruktur, dan akuntabel menurut hukum dan peraturan yang berlaku.
Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra mengatakan bahwa OSS-RBA akan mulai diimplementasikan pada 2 Juli 2021.
“Tujuannya supaya ada percepatan perizinan, supaya ada percepatan investasi, dan tanah itu bisa menciptakan lapangan kerja lebih cepat. Dalam praktiknya nanti diharapkan dibentuk forum tata ruang yang sifatnya multisektor. Di sinilah negosiasi-negosiasi strategis dan teknis bertemu antara para pemangku kepentingan di daerah, pusat, dan seterusnya,” ujarnya saat menjadi narasumber Lokakarya OSS-RBA untuk Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) se-Papua dan Papua Barat melalui pertemuan daring, Kamis (17/06/2021).
Lokakarya tersebut digelar dalam rangka meningkatkan kapasitas DPMPTSP di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam menyelenggarakan perizinan berbasis resiko.
Surya Tjandra menyampaikan bahwa dalam konteks Papua, tantangan pelaksanaan tata ruang di daerah yaitu penyelesaian Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) serta proses pemberian konfirmasi/persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
Beberapa solusi dalam melaksanakan tata ruang di Papua, terkait keberadaan masyarakat adat, wilayah adat, dan hutan adat, di mana membutuhkan KKPR dan RDTR yang lebih sensitif agar pembangunan di Papua bisa lebih bermanfaat.
Selain itu, luas kawasan hutan di Papua yang relatif masih sangat luas dengan rata-rata di atas 90% dari luas wilayah. Oleh karena itu, perlu pendekatan konservasi yang ramah dengan pemanfaatan sumber daya alam (SDA), khususnya bagi masyarakat orang asli Papua.
Kemudian, penghitungan ulang terhadap kebutuhan RDTR di Papua serta revisi RTRW yang juga menjadi tantangan. Adanya sistem yang canggih seperti OSS-RBA yang akan dijalankan di Papua, sehingga dibutuhkan edukasi dan sosialisasi kepada daerah. “Dalam konteks Papua, kami dari Kementerian ATR/BPN membantu supaya Papua bisa lebih cepat dalam pembangunan dan pada sisi yang sama membantu supaya warga penduduk masyarakat orang asli Papua betul-betul bisa menikmati secara lebih baik,” tutur Wamen ATR/Waka BPN.
Adapun strategi percepatan RDTR di daerah, antara lain memberikan bantuan teknis dan bimbingan teknis untuk mendukung penyusunan RDTR di daerah; memberikan insentif kepada daerah untuk mendorong sense of urgency dalam penyediaan RDTR, untuk penerbitan Konfirmasi KKPR/kemudahan berusaha; penggunaan peta dasar lainnya selain peta dasar RBI untuk penyusunan RDTR; serta kerja sama dengan pemerintah daerah dan asosiasi profesi dan akademisi untuk penyediaan data yang dibutuhkan dalam penyusunan RDTR.
Direktur Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah II, Eko Budi Kurniawan yang turut hadir secara daring menyebutkan, untuk mengatasi tantangan pelaksanaan tata ruang terdapat berbagai terobosan penetapan RDTR dalam PP Nomor 21 Tahun 2021.
“Jangka waktu penyusunan dan penetapan RDTR dibatasi paling lama 12 bulan terhitung sejak pelaksanaan penyusunan RDTR, tahapan rekomendasi BIG (Badan Informasi Geospasial-red) dalam penyusunan RDTR dihilangkan, penyederhanaan dan percepatan validasi KLHS, dan proses evaluasi Kemendagri pada penetapan RDTR dihilangkan,” papar Eko Budi Kurniawan. (*/cr2)